Memiliki keluarga ideal atau keluarga Islami pastinya
adalah dambaan setiap orang yang dirinya muslim. Siapapun akan berharap rumah
tangga yang dibangunnya dipenuhi suasana sakinah mawaddah wa rahmah, dengan
pasangan yang shaleh atau shalehah, suami atau isteri yang menyejukan mata dan
jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Terlebih jika berbagai
kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah, atau setidaknya tidak sesulit yang
kita rasakan saat ini. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan
di surga dunia.
Namun kehidupan
sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba
sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis
politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis
sosial, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan adanya benturan-benturan nilai
akibat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim.
Jarang ditemui keluarga muslim yang benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai
Islam. Keluarga Muslim, bahkan ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik
dan individualistik. Tak sedikit pula keluarga muslim yang turut goyah bahkan
terguncang, hingga angka perceraian dan trend single parent terus meningkat.
Dampaknya bisa ditebak. Kenakalan anak dan remaja juga menjadi potret buram
umat Islam saat ini yang tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi nasib umat
Islam dan bangsa secara keseluruhan di masa depan.
Kondisi ini
mengindikasikan adanya kerapuhan dalam ketahanan keluarga yang diakibatkan
karena kesalahan tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara
ketahanan keluarga merupakan pilar ketahanan masyarakat dan bangsa. Karenanya,
mewujudkanketahanan keluarga menjadi perkara yang sangat urgen. Bentuk apapun
yang mengancam ketahanan keluarga harus diwaspadai dan diupayakan
penyelesaiannya.
Bila dicermati yang cukup dominan mengancam ketahanan keluarga
muslim beserta beragam peristiwa yang mengikutinya sepanjang awal 2016 hingga
menjelang akhir 2016 diantaranya:
1. Feminisme Mengancam Ketahanan Keluarga
Paham yang menghendaki
kesetaraan antara suami dan istri, dengan program unggulannya yaitu
pemberdayaan ekonomi dan politik bagi perempuan ini, sangat masif digencarkan.
Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan
politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), BPFA dll yang spiritnya
sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Berbagai
konvensi dan hasil kesepakatan ini dipaksa untuk diadopsi oleh negara-negara di
dunia, termasuk negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal
seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi,
Rancangan Amandemen UU Perkawinan, Kesehatan Reproduksi dan Hukum Materil
Peradilan Agama, dan lain-lain.Dan yang masih hangat-hangatnya direalisasikan
hingga 15 tahun ke depan adalah SDGs (Sustainable Development Goals) atau
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebagai kelanjutan dari MDGs (Millenium
Development Goals)MDGs) yang setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan.
Tahun 2016 ini menjadi awal pemberlakuan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs), tepatnya mulai 1 Januari 2016. Dari 17 Goals, 169 Target
dalam SDGs, ada 16 goals dan 91 target terkait dengan kesetaraan gender, hak
asasi perempuan dan anak perempuan. Perempuan dituntut berperan aktif untuk
mengawal implementasi dan capaian dari semua tujuan dan target dalam Agenda
2030 Pembangunan Berkelanjutan.
Demikianlah, serangan feminisme telah menghancurkan sendi-sendi
keluarga. Ketahanan keluarga pun kian rapuh.
2. Liberalisme Mengepung Keluarga dan Anak
Berbagai peristiwa di
tahun 2016 ini juga menunjukkan makin kuatnya ancaman liberalisme terhadap
ketahanan keluarga. Liberalisme juga telah berhasil menggeser fungsi negara
dalam melindungi keluarga melalui mandulnya aturan dan lemahnya penjagaan
keamanan bagi keluarga. beberapa perkara dominan pada tahun 2016 ini yang
menunjukkan makin kuatnya liberalisme dalam mengancam ketahanan keluarga dan
anak diantaranya; berkembangnya LGBT, pergaulan bebas dan penelantaran anak,
meningkatnya perceraian, serangan media informasi.
3. Deradikalisasi Memandulkan Peran Keluarga
Deradikalisasi adalah
segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan
interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka
yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan.
Agenda deradikalisasi selama 2016 ini nampak dari beberapa fakta
yang terjadi berikut:
1. Program deradikalisasi di sekolah dan pesantren
Program deradikalisasi gencar dilakukan di pesantren karena
dibangun anggapan bahwa institusi pendidikan Islam ini adalah cikal bakal paham
radikal. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat terdapat 19
pondok pesantren yang terindikasi sarat dengan kegiatan radikalisme yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Kepala BNPT Saud Usman menuturkan, pondok pesantren ter¬sebut
tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan,
Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ma¬kassar, hingga Poso(jurnalasia.com,
03/02/2016).
2. Deradikalisasi diprogramkan dari sejak usia dini.
Menteri Sosial
Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pendidikan anak usia dini merupakan salah
satu media pendidikan yang dapat mencegah secara dini paham radikalisme untuk
berkembang. Bahkan lanjutnya, proses preventif radikalisme tidak menjadi
berbiaya tinggi(Republika.co.id, 12/04/2015)
3. Deradikalisasi ibu-ibu.
Program ini dianggap
penting karena ibu yang memegang pendidikan pertama dan utama anak-anak di
rumah. Salah satunya melalui sekolah ibu. Mereka diajarkan cara menangkal
radikalisme dalam keluarga melalui Mother School atau sekolah ibu yang
didirikan oleh organisasi Women Without Border yang bekerja sama dengan ahli
anti-terorisme Organization for Security and Cooperation in Europe
(OSCE).Inisiatif ini dilakukan di berbagai negara dengan dana dari berbagai
kementerian di Austria, Uni Eropa dan Kemenlu AS (m.kiblat.net/2016/06/02).
Program ini lantas diadopsi juga untuk Indonesia dengan semakin
digencarkannya berbagai pelatihan UMKM untuk perempuan dan jaminan bantuan
[permodalan melalui berbagai kredit bank.
Demikianlah, deradikalisasi telah mengguncang ketahanan
keluarga. Pemikiran beserta segala upaya di dalamnya secara nyata berusaha
mematikan peran keluarga sebagai agen perubahan masyarakat. Keluarga menjadi
mandul untuk berkembang menjadi bagian terkecil penopang berlangsungnya
perubahan menjadi masyarakat Islam. Bahkan keluarga dipaksa untuk hanya
menyibukkan diri pada urusan privat.
Akibat Pemerintah Berlaku Zalim Hajat Hidup Tidak Terpenuhi, Keluargapun Rapuh
Dalam kondisi sistem
sekuler seperti sekarang negara yang semestinya berada di depan sebagai perisai
bagi masyarakat serta yang paling bertanggung dalam urusan pemenuhan hajat
publik. Namun dimana Negara? Sudah cukupkah perannya dengan posisinya sebagai
fasilitator antara keluarga dengan pengusaha saja? Adakah yang salah dari
program yang diimplementasikannya? Ataukah ada yang salah padacara pandang
negara dalam mengurusi rakyatnya? Hingga kesengsaraan dan penderitaan yang
seakan tak pernah berujung diantaranya:
Mahalnya harga berbagai hajat pokok kehidupan, ketersediaan yang
bermasalah serta rendahnya daya beli masyarakat adalah pil pahit yang harus
ditelan jutaan keluarga
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dipaksakan demi
kesuksesan hegemoni penjajah kafir.
Ketentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT), dampak buruknya sudah
begitu nyata sebagai akibat biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal, namun
tetap dipaksakan pemerintah
Pemerintah masih gagal menjalankan tugas dan kewajibannya
memenuhi hak pendidikan dasar dan menengah berupa pendidikan gratis berkualitas
terbaik bagi semua anak bangsa
Kurtilas (K-2013) dengan pendekatan sience – metode berfikir
ilmiah, tidak saja untuk ilmu-ilmu sain, seperti fisika, kimia, biologi, akan
tetapi pada semua pelajaran, termasuk mata pelajaran agama Islam. Yang
berpeluang disisipkan berbagai pemikiran sekuler liberal.
Kesulitan pangan terus mendera keluarga dan masyarakat, antara
lain terlihat dari gejolak harga pangan yang tidak kunjung reda.
Pemerintah kembali gagal memenuhi kebutuhan perumahan jutaan
keluarga miskin.
Pemerintah kembali gagal menjamin akses masyarakat dan keluarga
terhadap energi listrik dan migas gratis/murah dan berkualitas.
Tragedi “Brexit” saat mudik lebaran Juli lalu cukuplah sebagai
bukti kegagalan pemerintah memenuhi hajat jutaan keluarga Indonesia terhadap
transportasi publik yang murah aman dan nyaman.
Yang
Dibutuhkan Keluarga Indonesia Adalah Kehadiran Khilafah
Jelaslah yang
dibutuhkan keluarga Indonesia hari ini bukanlah kehadiran negara dan rezim
pemerintahan neoliberal yang menerapkan sistem kehidupan kufur dengan berbagai
program batil dan agenda hegemoni, akan tetapi kehadiran khilafah. Hanya
Khilafah yang akan melenyapkan kebatilan dan kezaliman. Karena khilafah hadir
untuk menerapkan sistem kehidupan Islam beserta berbagai program sohih yang
selaras dengannya. Hadir secara benar dalam fungsinya sebagai raa’in dan
junnah. Melayani masyarakat dengan tulus dan penuh kasih sayang. Memiliki visi
yang jelas dalam melayani publik, perencanaan yang matang dan cermat, disamping
kepemimpinan kuat lagi terpercaya. Yang semu ini menjadi kunci bagi
terpenuhinya hajat hidup tiap individu di tengah masyarakat dan keluarga secara
benar dan ma’ruf. Allahu A’lam.
Sungguh Allah swt
telah mengingatkan kita semua dalam firman-Nya yang artinya, “Wahai orang-rang
yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada
sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu
akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24). Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar